Google
 

12 July 2007

PPLP Hanya Jalan Pintas

Oleh: Yunas Santhani Azis
Kompas, 26 Juli 2005


Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar merupakan jalan pintas untuk memperoleh atlet berprestasi yang dirancang dalam keadaan darurat. Bila ini diteruskan tanpa perbaikan sistem pendidikan jasmani secara keseluruhan, program PPLP tersebut ujung-ujungnya hanya menjadi proyek tanpa ujung.

Itulah kritik pedas yang dilontarkan Ketua Lembaga Penelitian Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Jakarta, Syarifudin dalam sebuah perbincangan pada Jumat pekan lalu.

Keras atau lunak, sembarangan atau santun, yang jelas apa yang disampaikan Syarifudin langsung menusuk persoalan inti upaya Indonesia menuju prestasi olahraga puncak—yang sayang, tidak kunjung sampai.

Persoalan pokok tersebut sesungguhnya dapat disimak dari pernyataan Deputi Pemberdayaan Olahraga Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Djohar Arifin Husin tentang Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP). ”Filosofi PPLP harus dikembalikan pada semangat awal Ragunan. Filosofi dasarnya adalah atlet potensial yang disekolahkan,” katanya (Kompas, 18/7).

Atlet (anak, pelajar) potensial dimasukkan dalam PPLP! Pertanyaannya, siapa dan bagaimana menentukan si anak itu berpotensi menjadi atlet berprestasi tinggi, yang bahasa kerennya high performance athlete? Jawabnya, tentu saja guru-guru dan pelajaran pendidikan jasmani sekolah.

Orientasi pendidikan jasmani (PJ) adalah perkembangan fisik, motorik, psikis, dan sikap anak. Kalau dilakukan dengan benar, anak akan mempunyai tingkat keterampilan gerak yang baik, ujar Syarifudin. Dengan orientasi seperti itu, gurulah agen yang dapat melihat apakah seorang anak berbakat atau tidak untuk mencapai jenjang prestasi tinggi.

Syarifudin mengingatkan, pengamatan terhadap bakat seseorang adalah sebuah proses berkelanjutan yang tak mungkin dilakukan sepotong-sepotong. Pakar ilmu olahraga modern, Tudor Bompa, yang buah pikirannya luas diterapkan, juga tidak menjamin seorang anak yang menjuarai sebuah pertandingan adalah seorang yang berbakat.

Olahraga Jerman

Satu setengah tahun sebelumnya, pakar olahraga Jerman, Hans-Peter Thumm, sudah menegaskan hal senada. Dari empat tujuan pendidikan jasmani yang disampaikannya, butir terakhir adalah sebagai identifikasi fondasi bakat-bakat berbagai cabang olahraga (Tabel 1).

Mengutip teori, Thumm yang selama empat bulan di medio akhir 2003 mengamati pelaksanaan pendidikan jasmani di sekolah dasar dan menengah Indonesia, maksimum cuma tiga sampai lima persen dari populasi anak sekolah yang mempunyai potensi motorik yang memenuhi syarat untuk masuk dalam olahraga prestasi (high performance sport) dewasa ini.

Begitu kecilnya sehingga hanya sekolah yang punya kualitas pendidikan jasmani harian bagus yang dapat memberi guru dan pemandu bakat kesempatan untuk mengidentifikasi potensi motorik sesungguhnya. Menurut Thumm pula, banyak penelitian membuktikan secara luas hubungan yang erat antara standar prestasi olahraga sebuah negara dan tingkat pendidikan jasmaninya (Tabel 2).

Kurikulum baru

Sejak tahun 2000, Indonesia sudah memperkenalkan kurikulum pendidikan jasmani yang baru. Kurikulum itu tidak lagi menekankan pada kecabangan olahraga, tetapi pada pengajaran gerak dasar yang mengacu pada pendekatan jangka panjang. Tahap pengajaran keterampilan gerak disesuaikan dengan masa pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikologis seorang anak (Tabel 3).

Kurikulum seperti itu sesungguhnya sejalan dengan pikiran Thumm yang melihat pendidikan jasmani sekolah haruslah berkonsentrasi pada kebugaran secara keseluruhan. Itu karena 95 persen anak didik yang merupakan mayoritas bukanlah individu yang punya potensi motorik cemerlang untuk menuju olahraga prestasi tinggi.

Pendidikan jasmani haruslah berorientasi pada terbentuknya dengan baik perkembangan fisik, motorik, menjadikan olahraga sebagai sarana pembelajaran sosial amat penting dalam membentuk manusia yang paham, taat aturan, bertanggung jawab, membentuk karakter yang kuat, dan menghargai serta menerima perbedaan (Tabel 4).

Hanya dengan pelaksanaan pendidikan jasmani yang benar pula tercipta motivasi berolahraga terus-menerus, baik untuk prestasi ataupun gaya hidup. Dalam bahasa Nugroho, pengajar Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta, pelaksanaan pendidikan jasmani yang bagus melahirkan minat tinggi sekaligus memunculkan para siswa yang memang berbakat pada cabang-cabang tertentu.

Siapa peduli?

Beres? Tidak! Justru di sini kelemahan Indonesia. Menurut Syarifudin, begitu bertumpuk persoalan dihadapi guru dan program pendidikan jasmani sekolah yang membuat tidak tercapainya orientasi ideal pendidikan jasmani.

Persoalan pertama adalah kompetensi guru-guru jasmani sekolah. Dalam seminar badmini Mei lalu, Syarifudin menjelaskan sulitnya para guru mengimplementasikan kurikulum pendidikan jasmani tahun 2000 lebih jauh.

Di tingkat sekolah dasar, hampir semua guru olahraga adalah guru kelas yang hanya memperoleh kursus pendidikan jasmani selama enam bulan. Beban yang dihadapi berbanding terbalik dengan apa yang disiapkan pada mereka: murid berumur 7 sampai 10 tahun adalah usia-usia kritis dalam perkembangan gerak.

Latar belakang mereka bahkan ada yang dari PGA (Pendidikan Guru Agama). Di tingkat yang lebih tinggi (guru SMP dan SMA), guru dihadapkan pada persoalan-persoalan kesejahteraan diri dan keluarga, kata Syarifudin.

Persoalan kedua adalah cerita klasik lainnya, fasilitas pendidikan jasmani yang minim. Ketiga, kepedulian yang kecil terhadap pendidikan jasmani baik dari birokrat, kepala sekolah, maupun guru-guru itu sendiri.

Sudahkah pemerintah dan birokrasi peduli bila mengingat pendidikan jasmani di sekolah hanya diajarkan selama dua jam pelajaran setiap minggunya? Padahal, jelas Syarifudin, seperenam dari 24 jam waktu yang dimiliki oleh manusia yang ada dalam masa pertumbuhan haruslah untuk pengayaan proses belajar. Adakah yang peduli dengan guru-guru pendidikan jasmani kita? Apa ada institusi yang mengurusi mereka? Tidak ada, kata Syarifudin.

Kesimpulannya, membangun olahraga Indonesia yang kuat tidak bisa terlaksana tanpa pembenahan tiga hal tersebut, kompetensi guru-guru pendidikan jasmani harus dibangun dan ditingkatkan dengan serius, fasilitas pendidikan jasmani dan kepedulian terhadap pendidikan jasmani juga merupakan syarat yang tak dapat ditawar.

No comments:

“ATHLETES FIRST, WINNING SECOND”