Bulutangkis dan Fisika
Dhina Pramita Susanti, Peraih Medali Emas Fisika :
Belajar Fisika ? Asyik Lagii...
Oleh SH/yudi wijanarko
"Besok pagi atau tanggal 21 Juni 2005, usianya baru 16 tahun. Seperti remaja tanggung kebanyakan, pembawaan gadis kecil berkulit hitam manis itu ceria, bahkan tergolong "rame". Seperti remaja seusianya pula, Dhina Pramita Susanti itu pun memiliki hobi yang "standar" yang digemari remaja seusianya pula seperti chatting atau ber-email ria via internet, berenang atau kirim-kirim SMS (layanan pesan singkat telepon seluler) ke sesama teman.
Namun ada yang membedakan antara siswi kelas II Sekolah Menengah Umum (SMU) 3 Semarang itu dengan ribuan remaja seusianya yakni prestasinya. Anak pertama dari pasangan Ir Sahid Yogasari dan Ir Sustanti itu baru saja mendapatkan medali emas di ajang The First Step to Nobel Prize in Physics XIII Tahun 2005 di Polandia! Medali emas bidang Fisika.
Ya. Sebagai peneliti belia bidang fisika, Dhina memang jauh dari gambaran para "ahli ilmu sulit" itu. Tak ada kacamata tebal yang "nangkring" di hidungnya. Bicaranya yang "rame" yang selalu ditimpali dengan bunyi "chetak" dari ibu jari dan jari tengah yang diadu, dia tidak pendiam, atau pun berkaca mata tebal. Dhina benar-benar seperti remaja biasa yang lain. Prestasinyalah yang membuatnya sedikit berbeda.
Penghargaan dari Polandia yang akan diterimanya November mendatang itu, semakin memperkuat kehadiran Dhina dalam ranah para peneliti fisika di tanah air. Buah karya penelitiannya yang berjudul Curved Motion of A Shuttlecock yang dikirimkan kepada juri di ajang The First Step to Nobel Prize in Physics XIII dinilai sebagai karya orisinal yang meneliti gerakan shuttlecock dalam permainan olahraga bulutangkis.
"Menurut juri, penelitian saya adalah hal baru dan menarik. Sebab penelitian sebelumnya yang sudah ada baru meneliti pola gerakan pada bola tenis, softball dan sepak bola," kata Dhina, ketika ditemui SH di rumahnya, Jalan Plamongan Permai Utara I/274 Semarang, pekan lalu.
Hasil penelitiannya, sambung Dhina, menemukan bahwa ternyata gerakan shuttlecock di udara membentuk lintasan melengkung yang tidak sempurna. Padahal, pada gerakan parabola yang umum, lintasannya melengkung sempurna. Sehingga dapat dikatakan bahwa gerakan parabola pada shuttlecock adalah gerakan yang unik karena menghasilkan lintasan parabolik tidak sempurna.
Gerakan Tidak Sama
Selama proses penelitian yang memakan waktu tiga bulan itu, Dhina diampu oleh tiga orang pembimbing sekaligus yakni Prof Yohanes Surya, I Made Agus Wirawan dan guru Fisika di SMU 3 Semarang, Sutardi Spd. Selama penelitian di lapangan, Dhina sempat bolak-balik mengunjungi sejumlah klub bulutangkis di Semarang seperti Perkumpulan Bulutangkis (PB) Garuda, PB Sahabat Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan PB 149 di almamaternya.
"Dibantu mama, papa dan juga teman, saya merekam dengan camera video gerakan shuttlecock yang dimainkan di klub bulutangkis itu,"ujarnya sambil tertawa, memandang mamanya, yang mendampingi saat wawancara.
Gambar yang sudah direkam dengan camera video itu, lanjut Dhina, lalu ditransfer ke komputer dan diekstrak dengan sebuah software bernama world of motion. Melalui software itulah, gambar rekaman gerakan shuttlecock dapat terbaca parameternya seperti kecepatan, posisi dan waktu.
Parameter tersebut lalu oleh Dhina dianalisis kembali dengan menggunakan rumusan-rumusan matematika seperti gerakan linier dan quadratic. Lalu analisis itu menghasilkan temuan bahwa gerakan parabola pada shuttlecock ternyata adalah gerakan linier. Sedangkan pada gerakan parabola bola tenis, softball dan sepakbola gerakannya adalah gerakan quadratic.
"Temuan ini sekaligus menjelaskan kepada kalangan awam yang selama ini memercayai bahwa gerakan melayang di udara antara bola tenis, softball, sepakbola dengan shuttlecock adalah gerakan parabola yang sama. Padahal kenyataannya berdasar penelitian saya, gerakannya ternyata berbeda,"jelas Dhina dengan ceria.
Mampu Memadukan
Selama wawancara berlangsung, Dhina memang selalu ceria. Bahkan tak jarang pemilik berat badan 55 kilogram itu tertawa lebar. Pembawaanya enjoy, sama seperti dia menyikapi pelajaran fisika yang disukainya sejak kelas satu SMU. Menurutnya, fisika bukan pelajaran sulit. Asal dihadapi dengan tenang dan gembira, pelajaran yang selalu jadi momok anak-anak sekolah itu sebenarnya mudah.
"Saya sering melakukan coba-coba ketika menjawab soal fisika. Eh, ternyata dari coba-coba itu kok ternyata jawabannya benar. Karena itulah, bagi saya pelajaran itu sangat asyik, menyenangkan,"ujarnya lagi.
Dilihat dari prestasi di sekolahnya, Dhina bukanlah golongan siswa yang selalu juara kelas. Ketika lulus dari SMP 2 Semarang, peringkatnya hanya di posisi 7 di sekolah favorit tersebut. Sementara nilai pelajaran fisika SMU di semester satu kemarin hanya 79. Rangkingnya pun selalu berada di peringkat 4-5 di kelasnya.
Tapi kelebihan yang ada pada Dhina, kata Sutardi, guru fisika di SMU 3 Semarang, dia mampu memadukan fisika, matematika, bahasa Inggris dan komputer. Karena kelebihannya itulah, ujar Sutardi, Dhina harus belajar fisika tingkat tinggi (setara program Master atau Strata dua) dan bukan lagi pelajaran Fisika untuk anak SMU.
Kembali pada karya penelitiannya Curved Motion of A Shuttlecock menurut Dhina itu adalah pengembangan dan perbaikan dari karya sebelumnya yang berjudul The Influence change of Temperature towards Magnetisum yang meraih posisi 5 besar tingkat nasional pada seleksi tahap pertama untuk mengikuti ajang dunia itu. Oleh ketiga pembimbingnya, karya itu disarankan untuk disempurnakan lagi dan judulnya berubah menjadi Analysis of the Shuttlecock Movement in the Badminton Game yang akhirnya meraih posisi satu untuk seleksi ajang yang sama. Persoalan judul kembali berubah menjadi The Physics of Badminton hingga akhirnya menjadi Curved Motion of A Shuttlecock yang memperoleh medali emas atau juara I pada The First Step to Nobel Prize in Physics XIII di Polandia.
Karya Dhina itu juga mengalami perjalanan yang menarik. Sebelum diumumkan menjadi juara pertama di ajang sangat bergengsi itu, pada tanggal 25-29 April 2005 yang lalu Dhina bersama Chrisanty Rebecca Surya (putri Prof Yohanes Surya) mempresentasikan karyanya di ajang XII International Conference of Young Scientiest di Polandia. Pada lomba tersebut keduanya meraih medali perunggu.
Bingung
Sebelum menghasilkan karya penelitian itu, Dhina juga memiliki karya berjudul "Mangga sebagai Sumber Energi Listrik" yang pernah dilombakan dan meraih juara pertama dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Bidang Fisika Universitas Negeri Semarang (Unnes). piala dari lomba tersebut dipajang di ruang tamu rumahnya.
Setelah tenggelam hampir empat bulan dalam penelitiannya itu dan mengharuskan dia tidak mengikuti pelajaran di sekolah, Dhina kini sibuk mengejar ketinggalan pelajarannya di sekolah. Satu hal yang masih membingungkannya, soal cita-citanya kelak: menjadi ahli fisika atau ahli nuklir. Padahal dulu sewaktu SMP pernah ngotot bercita-cita jadi psikiater. Kalau kini ingin jadi ahli fisika, itu tak lain gara-gara kecintaannya pada fisika. "Belajar fisika, asyik lagii...," katanya.
Sumber : Sinar Harapan (2 Juni 2005)
Seputar Bulutangkis
bulutangkisindonesia.blogspot.com
No comments:
Post a Comment