Google
 

22 March 2007

Wanita Dalam Olahraga


(Sebuah refleksi apakah pembatasan sudah tiada?)

Oleh: Komar Hidayat
(Widyaiswara PPPG Tertulis Bidang Studi Olahraga, Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Pendidikan Indonesia)


Ketika saya memulai berlari, saya sangat malu dan akan berjalan jika mobil lewat.
Saya berpura-pura melihat-lihat bunga.

Joan Benoit; pemenang medali emas Olimpiade 1984


Pokok pikiran yang disampaikan dalam artikel ini dimaksud, pertama untuk menegaskan objek penting dari kajian ilmu keolahragaan dalam konteks sosiologi, kedua adalah untuk menunjukan satu bentuk analisis dengan pendekatan interdisiplin, ciri epistimologi, atau metoda pengembangan ilmu keolahragaan.

Ada dua masalah potensial yang berhubungan dengan wanita dalam olahraga. Pertama, kemungkinan bahwa beberapa orang akan membicarakan anak perempuan dan wanita dewasa dalam diskusi tentang sosiologi olahraga. Namun hal ini berakhir jika topiknya hanya membicarakan wanita saja. Jika hal ini terjadi maka pengetahuan tentang olahraga dan pengalaman olahraga akan menderita. Setiap topik sosiologi olahraga harus mengikut sertakan wanita. Karena olahraga dan pengalaman olahraga tidak hanya untuk pria saja. Kedua, menjelaskan stereotipe tradisional tentang feminisme dan pengalaman atlet wanita yang memperlihatkan bahwa partisipasi olahraga oleh wanita tidaklah normal. Jika hal ini terjadi, maka sosiologi olahraga menjadi agen perbedaan. perlakuan karenajenis kelamin.

A. Partisipasi di antara Para Wanita

Sejak tahun 1970-an perubahan dramatis pada olahraga adalah naiknya tingkat partisipasi olahraga wanita. Hal ini terjadi di setiap negara industri. Di Amerika, tahun akademis 1970-1971 kurang dari 300.000 siswi sekolah menengah bermain olahraga tim sekolah, tahun akademis 1983-1984 ada 1.800.000 siswi yang berpartisipasi kenaikan sebanyak 600%. Hal ini sangat menarik karena pada periode yang sama jumlah siswi menurun sebanyak 5%. Di tingkat Universitas 16.000 mahasiswi bermain olahraga tim tahun 1970-an, namun tahun 1984 lebih dari 150.000 orang, kenaikan sekitar 900%. Sulit untuk menunjukkan jumlah partisipasi pada program olahraga masyarakat, namun hampir semua laporan memperlihatkan adanya kenaikan partisipasi wanita dalam olahraga.

Adapun yang menjadi penyebab meningkatnya partisipasi olahraga wanita di Amerika dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, 1) Peluang baru; 2) Tekanan dari pemerintah dalam bentuk titie IX; 3) Gerakan kaum perempuan; 4) Gerakan kesehatan dan kebugaran; dan 5) Adanya tokoh atetik teladan.

Peluang Baru

Sebelum pertengahan tahun 1970-an, wanita tidak berpartisipasi dalam olahraga karena tim dan program untuk mereka tidak ada. Sekarang ini tim dan program telah membuka daya tarik yang tidak dihiraukan sebelumnya. Budget belum didistribusikan secara merata untuk pria dan wanita, tapi kenaikan partisipasi telah berjalan bersamaan dengan investasi sumber daya yang baru dalam program bagi wanita.

Title IX dari Amandemen Pendidikan tahun 1972

Melarang diskriminasi jenis kelamin pada setiap organisasi yang menerima dana bantuan dari pemerintah. Organisasi ini termasuk sekolah-sekolah yang harus membuktikan adanya peluang yang sama bagi pria dan wanita. Hal ini diterapkan pada semua aktivitas, tidak hanya pada olahraga saja. Peluang yang sama bagi wanita dalam olahraga artinya mereka mendapatkan kesempatan untuk menggunakan fasilitas, peralatan, perawatan, pelatihan dan jadual pertandingan yang fair. Sejak tahun 1976 aturan ini diberlakukan dan terbukti sangat efektif.

Gerakan Kaum Perempuan

Dasar pemikirannnya adalah, bahwa wanita akan lebih baik sebagai manusia, jika diberikan peluang untuk menjadi kompeten dan mampu (Fershin, 1974). Hal ini membuat wanita segala usia mengejar keinginan mereka dalam olahraga. Dan partisipasi mereka dianggap sebagai simbol perubahan dari organisasi yang biasanya kental diskriminasinya (Barfield, 1980). Gerakan ini juga menjadi katalisator bagi hak bekerja dan penokohan dalam keluarga. Di mana wanita dapat memperoleh pekerjaan seperti halnya pria, dan mereka berbagi tugas rumah tangga dengan kaum pria sehingga dapat melakukan hal-hal lain, termasuk kegiatan olahraga.

Gerakan Kesehatan dan Kebugaran

Sejak pertengahan tahun 1970-an meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan kebugaran mempengaruhi wanita untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan fisik. Selain kecantikan tubuh secara tradisional, adapula perhatian akan pembangunan tubuh wanita secara aktual. Yaitu melalui kekuatan, otot dan, pembangunan fisik. Banyak wanita yang mencoba untuk menghadapi tantangan dalam olahraga, bukan hanya ingin terlihat seperti model pada majalah.

Adanya Tokoh Olahraga Teladan

Naiknya tingkat partisipasi olahraga wanita juga disebabkan oleh adanya tokoh olahraga yang dapat dijadikan teladan bagi kaum wanita segala usia. Para tokoh ini memperkuat definisi bahwa olahraga adalah kegiatan umat manusia, bukan hanya untuk kaum pria saja.

Faktor-faktor di atas secara kombinasi mempengaruhi partisipasi olahraga wanita dan anak perempuan. Dengan tingginya partisipasi, maka program dan peluang akan semakin bertambah. Naiknya partisipasi wanita tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap struktur masyarakatnya, tapi memberikan kontribusi terhadap pengalaman pembangunan bagi individu setiap wanita.

Implikasi dari kenaikan partisipasi olahraga pada wanita adalah keterlibatan wanita dalam tenaga kerja. Adanya batasan peluang kerja bagi wanita biasanya karena mereka dianggap tidak mampu secara fisik. Namun setelah wanita memperlihatkan prestasi mereka dalam olahraga, maka argumen ini dapat dihilangkan. Batasan mengenai ketidak mampuan fisik wanita dalam pekerjaan, dapat ditentang dengan adanya prestasi mereka dalam olahraga.

Riset membuktikan bahwa, satu masalah yang berkaitan dengan pengalaman sosialisasi kaum wanita adalah interferensi mereka dengan pembangunan otonomi dan sikap asertif. Wanita biasanya melihat diri mereka bukan sebagai individu yang tersendiri, namun sebagai kemampuan dalam mengurus dan mendukung orang lain. Seperti dalam situasi keluarga (Chod, 1978). Padahal wanita juga membutuhkan pengalaman yang membuat mereka mampu melihat dirinya sebagai manusia yang unik yang tidak sepenuhnya tergantung dari orang lain. Persoalannya adalah, apakah olahraga dapat memberikan pengalaman ini?

(Coakley & Westkott, 1984) berpendapat bahwa, olahraga berpotensi memberikan pengalaman-pengalaman positip terhadap perkembangan wanita, adalah sebagai berikut

Pertama, partisipasi olahraga dapat menekankan pembangunan identitas anak perempuan dalam kelompoknya yang berdasarkan pencapaian keahlian yang dihargai kelompok. Identitas seperti ini lebih mengutamakan melakukan sesuatu dari pada menjadi sesuatu, jadi aktif bukannya pasif. Partisipasi dalam olahraga membuat wanita dapat mengejar aspirasi mereka dengan lebih serius.

Kedua, partisipasi olahraga dapat membuat wanita menjadi individu yang tersendiri, di mana aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau dikendalikan oleh keluarga.

Ketiga, olahraga dapat memberikan jenis dan figur pemimpin yang dapat dikaitkan dengan diri mereka. Dengan menggambarkan figur pemimpin dalam situasi dan kemampuan yang berbeda, maka wanita akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa yang tidak selalu benar dan sempurna. Begitu pula jika mereka melihat kepemimpinan orang tua mereka. Hal ini akan membuat wanita menjadi lebih asertif dalam hubungannya dengan orang lain dan bukan menjadi takut akan kekuatan atau kekuasaan orang lain.

Selain itu partisipasi olahraga juga dapat member! peluang kepada wanita untuk melakukan koneksi dengan tubuh mereka. Tubuh wanita bukan hanya sebagai bahan konsumsi saja, namun adanya identitas dan perasaan akan kekuatan yang ada pada tubuh tersebut. Dengan demikian partisipasi olahraga akan mendekatkan diri mereka dengan tubuh dan meningkatkan perkembangan psikologisnya. Riset membuktikan pendapat ini meski situasinya harus dibuat lebih bersifat membangun dari pada sekedar untuk mencapai prestasi atau memecahkan rekor saja.

Naiknya partisipasi wanita dalam olahraga dapat mengarah pada tingkat struktural dan sosial psikologis. Otonomi, asertif, dan pendekatan terhadap tubuh wanita bukan merupakan akibat langsung dari partisipasi olahraga. Namun hal ini dapat dicapai jika situasinya dibuat agar bersifat membangun yang ditekankan oleh pelatih, pemain, orang tua dan kelompoknya.

B. Perbedaan Gender dalam Olahraga

Diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga baru didokumentasikan dan dianggap sebagai masalah pada tahun 1970-an. Di mana tim olahraga wanita menerima dana yang lebih rendah dari tim pria. Tahun 1974 budget program olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada tingkat Universitas perbedaannya sampai 100 kali lipat (Women Sport, 1974).

Diskriminasi terlihat dalam hal fasilitas dan peralatan. Wanita menggunakan gedung olahraga yang usang di mana pria dibuatkan gedung yang baru. Wanita memakai peralatan bekas tim pria, jika tidak ada yang bekas terkadang tim wanita tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang sama, wanita mendapatkan giliran jadual yang tidak fair.

Wanita tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai latihan seperti halnya pria. Sering kali untuk menuju ke pertandingannya, tim wanita harus menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat. Liputan media untuk berita tentang olahlraga wanita juga kurang, padahal olahraga pria selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan televisi. Sampai adanya persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak bisa dikatakan mendapatkan peluang yang sama dengan pria dalam program sekolah.

Pada tingkat masyarakat, meski partisipasi olahraga wanita telah meningkat, diskriminasi masih kentara. Misalnya pada penggunaan fasilitas, program yang tersedia dan pengurus yang ditugaskan untuk kegiatan olahraga wanita. Hal ini juga terjadi untuk tingkat olahraga amatir nasional.

Mempertahankan Perbedaan Mitos

Mitos Fisiologi

Adanya kepercayaan bahwa partisipasi olahraga menyebabkan efek fisik yang berbahaya bagi wanita. Mitos ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Partisipasi yang keras dalam olahraga dapat mengganggu kemampuan untuk melahirkan, Hal ini disebabkan bahwa latihan fisik akan memperkeras otot pelvis, sehingga tidak akan cukup fieksibel untuk melahirkan secara normal.
  2. Aktivitas pada beberapa cabang olahraga dapat merusak organ reproduksi dan payudara wanita. Mitos ini tetap ada meskipun uterus adalah organ internal yang sangat anti getaran dan lebih terlindung dibanding organ vital pria.
  3. Struktur tulang wanita lebih lemah, sehingga akan memudahkan terjadinya cedera. Meski ukuran tubuh wanita umumnya lebih kecil dari pada pria, namun tulang mereka tidak lebih lemah. Bahkan, karena berat badan dan berat otot wanita lebih ringan, maka tulang mereka menghadapi bahaya yang lebih sedikit dibanding pria.
  4. Keterlibatan yang aktif membuat masalah pada menstruasi. Menurut para ginekolog, "aktivitas olahraga tidak mempengaruhi menstruasi." (Wyrick, 1974). Memang bagi atlet dalam periode latihan yang keras, sering mengalami keterlambatan menstruasi. Namun hal ini disebabkan oleh kurangnya persentasi lemak tubuh, Jadi masalah ini akan hilang jika latihan ketat ini berakhir. Penari balet professional sering mengalami perubahan siklus menstruasi, namun hal ini juga berakhir jika latihan ketat mereka dihentikan.
  5. Keterlibatan dalam olahraga mengakibatkan timbulnya otot yang menonjol dan tidak menarik. Padahal suatu tubuh yang dikondisikan dengan baik akan menjadi menarik. Kondisi fisik yang baik ini juga akan meningkatkan image tubuh dan meningkatnya sifat responsif fisik. Otot yang menonjol dihasilkan oleh hormon androgen yang lebih banyak terdapat pada kaum pada. Namun hal ini bervariasi antar individu.
Kelima mitos tersebut, jelas sangat tidak beralasan bagi wanita untuk tidak berpartisipasi dalam olahraga, sehingga upaya untuk menghindari orang yang masih menganut mitos tersebut di atas, adalah melalui pendidikan. Jadi pendidikan adalah penting untuk menghilangkan mitos yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan ini.

Mitos Performansi

Pola diskriminasi juga terlihat dengan argumentasi bahwa wanita tidak bisa tampil lebih baik dari pria. Hal ini sangat menghambat karena akan membatasi peluang, sehingga membatasi wanita untuk membangun kemampuannya.

Sebelum masa puber, perbedaan performansi antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh pengalaman bukan oleh faktor fisik ataupun potensi performansinya. Bahkan wanita rnempunyai keuntungan yang lebih baik karena mereka lebih cepat dewasa. Setelah masa puber, keuntungan ada di pihak pria karena hormon dan perbedaan pertumbuhan yang menyebabkan rata-rata pria lebih besar dan lebih kuat dari rata-rata wanita. Hal ini bisa digunakan sebagai dasar untuk membagi-bagi olahraga, namun bukan alasan untuk menutup peluang bagi wanita.

Jika pengalaman dan peluang bagi wanita dan pria sama, maka perbedaan ini akan hilang secara bertahap. Pada beberapa cabang olahraga perbedaan ini mungkin akan tetap ada, namun pada cabang-cabang lainnya perbedaan ini malah bisa terjadi sebaliknya. Misalnya pelari marathon wanita, Grete Waitz dari Norwegia mencatat waktu 2 jam 25 menit 41 detik pada New York City Marathon, waktu yang lebih baik dari pemenang pria saat itu. Pada cabang olahraga yang membutuhkan daya tahan dan bukan kekuatan, maka wanita akan lebih baik daripada pria. Karena itu tidak masuk akal jika mencegah peluang pria pada cabang ini, dan juga tidak masuk akal untuk mencegah wanita pada cabang lain hanya karena ada kemungkinan bahwa pria akan mengunggulinya.

Mitos performansi diperkuat oleh sejarah pembatasan dan diskriminasi. Mitos ini mulai berkurang, tapi jika individu dan kelompok yang berpengaruh (seperti IOC) masih menganut hal ini, maka diskriminasi akan terus berlanjut.

Seputar Bulutangkis
bulutangkisindonesia.blogspot.com

2 comments:

atha lakuary said...

cewe tuh keren banget :)

Lefidus Malau said...

betul sekali Artha ...

“ATHLETES FIRST, WINNING SECOND”