Google
 

22 March 2007

Olahraga Bukan Tujuan Hidup Akhir Kehidupan


Oleh AGUS MAHENDRA, MA.

ISU kepindahan atlet dari satu daerah ke daerah lain menjelang PON diangkat oleh Menpora pada acara Raparnas KONI Pusat di Samarinda. Dikatakannya, hal itu merupakan kesalahan daerah dalam menangkap makna PON, sehingga banyak daerah yang melakukan jalan pintas membeli atlet berprestasi, tanpa mau bersusah payah melakukan pembinaan.

Tema yang diangkat Menpora bukanlah hal baru, sebenarnya. Sudah banyak pihak yang berusaha mengangkat persoalan tersebut sejak jauh-jauh hari, mengingat dampaknya kepada pembinaan secara keseluruhan. Bahkan ada pihak yang menyatakan bahwa PON lebih banyak mudorotnya dan sebaiknya dihapuskan sama sekali.

Pemerintah dan KONI pun (baik KONI Pusat maupun KONIDA) bukan tidak menyadari fenomena demikian yang sudah sangat menggejala di banyak daerah. Namun mengherankan, pemerintah dan KONI pun bisanya cuma bungkam. Bahkan, usulan untuk melakukan studi atas penyelenggaraan PON dan berbagai dampaknya dari sudut pandang falsafah dan sosiologi olahraga pun tidak pernah mendapat perhatian pemerintah serta KONI.

Adapun daerah-daerah propinsi yang terkena langsung dampaknya juga lebih memilih menerapkan standar ganda. Ketika daerahnya dirugikan, ia berteriak-teriak penuh amarah ketika atletnya diketahui dibujuk dan pindah ke daerah lain. Tetapi pada saat yang lain, daerah itu berusaha mati-matian membantu kepindahan atlet ke daerahnya, sekalipun dengan memanipulasi data serta prosedur yang ditetapkan.

Dilihat dari kasus-kasus yang selama ini terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa kepindahan atlet melibatkan dua belah pihak yang satu sama lain saling berkaitan. Di satu sisi ada atlet yang bersedia pindah, apapun alasannya; baik karena ia memang oportunis bonus maupun karena sebab-sebab lain yang lebih rasional seperti pindah tugas kerja atau studi. Di pihak lain, ada daerah yang membutuhkan karena mengharapkan daya dongkrak atlet yang baru pindah tersebut bagi kepentingan daerahnya.

Penelusuran sederhana pada kasus kepindahan atlet menunjuk pada beberapa sebab. Pertama, dan mungkin ini yang menjadi pemicu utama, adalah diterapkannya kebiasaan pemberian bonus pada atlet yang berprestasi. Semula bonus ini hanya diberikan kepada para atlet yang biasanya berhasil membela nama bangsa di events internasional seperti Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games.

Berikutnya, kebiasaan ini menular pada beberapa daerah propinsi makmur, yang juga memberi bonus pada atletnya yang berprestasi di PON. Entah bagaimana, mungkin akibat ekspose besar-besaran dari media massa, propinsi-propinsi makmur ini seolah bersaing jor-joran memberikan sebesar-besarnya bonus, sehingga seolah terjadi ‘perang bonus’. Akhirnya, pemberian bonus inipun seolah menjadi trend utama di semua tingkat event olahraga, yang juga mengembus ke propinsi-propinsi lain.

Itulah akhirnya yang membuat semua atlet memandang bahwa bonus adalah tujuan utama keterlibatannya dalam olahraga prestasi. Tanpa bonus, tidak ada prestasi. Jika daerah asal tidak memberi bonus layak, mengapa tidak mencari daerah lain yang bisa, demi memperbaiki nasib hidupnya. Para ahli psikologi olahraga memandang gejala ini sebagai, turning play into work.

Kedua, kepindahan atlet bisa juga dipicu oleh sakit hati. Banyak atlet yang pindah ke daerah lain didorong sakit hati karena merasa tidak diperhatikan daerah dan para pembinanya. Ini menunjukkan bahwa pembinaan belum menjadi kata kunci keberhasilan olahraga Indonesia.

Banyak daerah yang baru aktif melakukan pembinaan serta memperhatikan atletnya di sekitar pelaksanaan event bergengsi, dalam bentuk pemberian uang transport, uang saku, uang kesehatan, serta peralatan latihan. Tetapi, setelah event itu berlalu, biasanya daerah itupun kembali kepada rutin semula, yaitu tidak melakukan apa-apa.

Atlet yang semula merasa dibutuhkan, tiba-tiba menyadari bahwa dirinya tidak dibutuhkan lagi. Di situ terjadi semacam perasaan “habis manis sepah dibuang.” Apalagi bagi atlet yang tadinya merasa dijanjikan macam-macam, seperti pekerjaan, kemudahan tertentu, atau bentuk janji lain.

Dapatkah kecenderungan kepindahan atlet dieliminir oleh sebuah ketentuan payung hukum seperti dikemukakan Menpora? Menurut hemat penulis, amat sulit. Bagaimana ketatnya pun payung hukum yang diberlakukan, selalu ada celah untuk dicari kelemahannya.

Minimal ada dua hal yang harus diupayakan, yaitu mencoba mengubah paradigma kemajuan daerah dalam olahraga, dan kedua mengubah paradigma tentang olahraga sebagai gantungan hidup.

Makna PON bagi daerah propinsi sebagai adu kekuatan memang sudah tidak tepat lagi. Sudah saatnya PON dikembalikan maknanya menjadi Pesta Olahraga Nasional, yang tidak perlu selalu dikaitkan dengan medali. Sedangkan kemajuan daerah bisa diukur oleh sesuatu yang lain, misalnya oleh SDI (Sport Development Index) yang diusulkan oleh Ditjen Olahraga, misalnya.

Dalam SDI ala Indonesia dinyatakan bahwa kemajuan olahraga suatu daerah diukur oleh kualitas dan kuantitas empat komponen, yaitu kebugaran jasmani penduduknya, jumlah fasilitas olahraga yang dimiliki daerah, jumlah SDM keolahragaan, serta jumlah partisipasi penduduknya dalam olahraga. Inilah yang harus dijadikan sasaran daerah.

Sedangkan dalam hal cara pandang kita terhadap olahraga, inipun sudah saatnya diubah. Selama ini kita memandang olahraga sebagai sebuah terminal dari perjalanan hidup atlet atau individu yang terlibat. Akibatnya, banyak orang tua dan atlet yang kecewa bahwa ternyata olahraga tidak bisa memberikan apa-apa bagi karir dan kehidupannya.

Seharusnya olahraga dipandang sebagai sebuah tahapan, yang jika dilalui akan memberi makna dan sumbangan yang baik bagi perkembangan seseorang. Mari kita simak ungkapan Udolf Ogi, seorang penasehat khusus Sekjen PBB dalam Olahraga bagi Pembangunan dan Perdamaian, yang juga mantan Presiden dari negara Swiss.

Bagi Mr. Ogi, olahraga adalah sekolah terbaik bagi kehidupan, yang mengajarkan kecakapan hidup dan membantunya menjadi warganegara yang baik. Ketika makna ini dipahami secara bernas, maka siapapun akan menerima bahwa olahraga bukan tujuan akhir yang harus dijadikan tumpuan untuk memberikan nafkah atau penghasilan. Ia hanya menjadi sarana yang mengantarkan seseorang untuk sukses dalam kehidupan dan karir yang dipilihnya. *** (Penulis: Dosen FPOK UPI).


Seputar Bulutangkis
bulutangkisindonesia.blogspot.com

No comments:

“ATHLETES FIRST, WINNING SECOND”