Google
 

27 June 2007

Belajar dari Yayuk Basuki

Atlet Kita harus Sinergikan Pengalaman dengan Iptek
Bali Post, 17 Desember 2006



Pada 1-15 Desember lalu telah berlangsung Asian Games XV di Doha, Qatar. Pada ajang olah raga itu, Indonesia juga ikut berpartisipasi karena masih punya sejumlah atlet yang baik. Namun, yang akan dibahas di sini adalah atlet yang baik barangkali kurang diimbangi oleh pembinaan yang sepadan. Guna membicarakan itu, tamu kita kali ini adalah Yayuk Basuki. Bagi dunia, ia salah seorang bintang. Sedangkan bagi Indonesia, ia petenis terbesar yang pernah dimiliki dengan pernah mencapai peringkat 20 besar di dunia dan berprestasi besar di Wimbledon.

Di event Asian Games, Yayuk Basuki sudah mendapatkan empat medali emas yang diraih dalam rentang waktu yang sangat lebar. Pertama kali mendapatkan medali emas pada 1986 yaitu di ganda putri bersama Susanna Anggarkusuma dan terakhir kali emas tunggal putri pada 1998. Ini satu rekor tersendiri. Kini, pemerintah -- dalam hal ini Menteri Pemuda dan Olah Raga -- telah menunjuk Yayuk menjadi salah seorang anggota tim untuk memantau olah raga. Berikut wawancara dengan Yayuk Basuki.

--------------

APA tugas yang diberikan pemerintah kepada Anda sekarang?

Saya sekarang masuk dalam tim monitoring yang berada di Kantor Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga. Tim ini dibentuk oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) karena melihat kegagalan kontingen Indonesia di ajang SEA Games di Filipina pada 2005. Setelah mengevaluasi kinerja tim Indonesia, Menpora menilai perlu membentuk suatu badan yang akhirnya dinamakan tim monitoring. Tugas kita adalah memonitor dan mengawasi seluruh pelaksanaan program maupun pembinaan khususnya pemusatan latihan di Tanah Air. Kita juga sudah memprediksi seberapa besar peluang kita di Asian Games 2006 ataupun di SEA Games 2007. Sebenarnya banyak tugas kita termasuk mengefisiensikan anggaran dan memonitor penggunaan anggaran supaya tepat guna dan pembinaannya berlanjut.


Tugas tim monitoring ini begitu banyak. Khusus di cabang olah raga tenis, sering ada gejala secara individu, yaitu banyak atlet yang berprestasi tapi kalau sudah terjun ke gelanggang multi-event atau yang besar tidak berprestasi?

Kalau saya perhatikan dan ini juga saya lihat setelah saya mendunia atau masuk profesional, atlet-atlet kita memiliki perbedaan dengan atlet negara lain. Perbedaan yang mencolok yaitu faktor mental. Faktor mental ini benar-benar harus diperbaiki oleh seluruh atlet di Indonesia. Dampak faktor mental ini sangat luas. Contoh kecilnya seperti saat bertanding biasa di dalam negeri mencatat hasil bagus. Misalnya, seorang pelari mencatat waktu yang bagus. Tapi setelah diadakan uji tanding di luar negeri, mungkin catatan waktunya akan berubah.


Maksudnya, prestasi atlet kita tidak stabil?

Kadang-kadang mereka juga akhirnya tidak konsisten. Misalnya, seorang karateka bernama Umar Syarif pernah juara dunia junior di Denmark. Dia salah satu karateka terbaik di dunia saat ini. Walaupun kini sedang mengalami cedera, tapi saya dengar Umar sudah siap kembali lagi. Saya ingat sekali saat terjun di Asian Games 1998, tangan Umar Syarif berkeringat dingin. Jadi dari sisi pribadinya sendiri ada keraguan, mentalnya ternyata belum terasah.


Artinya, sewaktu menjadi juara dunia mentalnya kuat, tapi di tempat lain seperti Asian Games bisa lemah?

Ya. Ini karena Asian Games adalah multi-event di mana kita membawa nama negara. Kalau kejuaraan dunia mungkin masih membawa nama individu. Itu perbedaannya. Kedua, di sisi lain kurangnya pertandingan. Barangkali untuk satu-dua kali pertandingan oke, tapi itu belum mencukupi. Atlet-atlet kita seharusnya banyak mengikuti uji tanding. Jadi setiap bulan mereka harus ada uji tanding supaya prestasi mereka bisa konsisten. Kalau kita lihat, saat ini masih naik-turun gelombang prestasinya.


Kalau Anda, saat bertanding di Wimbledon sebagai individu dan bertanding di Asian Games atau SEA Games yang membawa nama negara, mana paling berat tekanannya?

Terjun di arena Asian Games itu lebih stres karena tanggung jawab kita kepada negara. Saya tidak bertanggung jawab terhadap pribadi, tetapi pada negara. Tapi di situ seninya buat saya, walaupun saya sampai dikatakan aneh. Saya benar-benar mencintai tantangan.


Beban karena stres membela negara, tapi ada dukungan dari negara juga. Ini berarti saling mengimbangi. Kalau di Wimbledon, kadang-kadang saat latihan tidak ada yang tahu, tidak ada dukungan juga?

Iya, benar. Seperti saat kita berangkat, maka berangkat sendiri. Kalau multi-event itu, seluruh mata masyarakat olah raga tertuju ke kita dan kita juga menjadi tumpuan untuk mengharumkan nama negara. Tapi di situ timbul suatu semangat buat saya karena satu motivasi saya adalah mengharumkan nama bangsa. Jadi berbuat yang terbaik. Bagi saya, terjun di arena Asian Games betul lebih stres karena dibutuhkan konsentrasi ekstra.


Jadi, di situ ada faktor masing-masing individu, ada yang senang tantangan dan ada yang menjadi goyah. Pasti selalu ada variasi antar-individu terhadap hal itu. Apa yang bisa dilakukan oleh organisasi olah raga untuk membantu atlet yang beragam itu?

Kita mendidik dari awal. Jadi betul-betul kita menciptakan suatu sistem organisasi secara lebih sistematis di mana sekarang ini sudah banyak penyandangnya, salah satunya termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Kita harus mengkombinasikan itu semua dengan perkembangan Iptek sekarang yang luar biasa. Kita tidak bisa seperti dulu tergantung berdasarkan pengalaman saja. Untuk sekarang, itu tidak akan mampu bertahan lama. Pengalaman itu harus kita sinergikan dengan Iptek. Itu saya rasa akan lebih baik. Hanya saja cara kerjanya memang harus sistematis. Kadang-kadang organisasi kita maunya tetap instan. Dari langkah pertama maunya langsung ke langkah kelima tanpa ke langkah kedua, ketiga, dan keempat dulu. Saya lihat beberapa organisasi masih seperti itu sistem kerjanya. Bagi saya, perlu kita revitalisasi supaya pada masa depan pembinaan menjadi lebih langgeng, lebih panjang, dan atlet pun akan berprestasi lebih lama.


Di beberapa organisasi ada psikolognya. Apakah memang jawabannya ada di situ atau dalam aura organisasi yang lebih luas?

Psikolog adalah salah satu penyandang juga. Sebetulnya ada beberapa tenaga ahli yang kita perlukan, salah satunya Iptek tadi. Tapi di sisi lain kita juga sudah pasti membutuhkan seorang psikolog. Walaupun tidak semua cabang olah raga percaya akan fungsi psikolog, saya pribadi sangat menyetujui dan psikolog ini adalah yang kita butuhkan. Saya lihat di nasional belum banyak organisasi yang memanfaatkan psikolog.


Apakah atlet pada umumnya punya sistem "support" sendiri secara mental seperti orangtuanya, temannya atau lainnya?

Saya rasa tidak. Seharusnya orang yang paling dekat dengan atlet adalah pelatih. Pelatih ini akhirnya yang akan memberikan masukan. Pelatih adalah panutan atlet. Pelatih membuat laporan ke organisasi atau manajer. Pelatih ini yang paling tahu kondisi dan kebutuhan atlet. Maaf, pelatih kita belum banyak yang tahu teknologi keolahragaan. Jadi semua memang rata-rata masih berdasarkan pengalaman. Contohnya, mereka yang dari mantan atlet jika tidak mengikuti Iptek olah raga maka belum tentu akan menjadi pelatih yang baik.


Ada yang mengatakan kalau olah raga beregu kita lemah tapi olah raga perorangan kita kuat seperti terlihat dalam tenis, badminton, tenis meja. Apakah itu betul? Apa bedanya beregu dan individu dalam konteks kelemahan mental atlet?

Sebetulnya kalau itu dianggap perbedaan tidak juga. Belakangan ini memang cabang-cabang olah raga tadi secara individual yang kelihatan lebih menonjol seperti badminton dan juga catur. Tapi kita juga mesti berterus terang bahwa cabang-cabang strategis kita saat ini baru mengalami kemerosotan yang sangat di bawah sekali. Itu mungkin benar-benar tanpa terprediksi sebelumnya termasuk cabang strategis seperti renang, atletik, dan senam.


Kita biasanya berharap atletik bisa menyumbangkan 8-17 medali emas di SEA Games. Tapi dalam SEA Games lalu atletik hanya bisa meyumbangkan satu medali emas. Sangat jauh kemerosotannya. Renang juga sama. Dari sekitar 50 medali emas yang diperebutkan, renang hanya menyumbang 1-2 medali emas. Juga merosot, karena biasanya renang menyumbangkan puluhan medali emas sejak zaman Lukman Niode sampai Elfira Rosa Nasution. Bagaimana ini?

Kita memang harus mengatasi hal ini, mencari tahu mengapa cabang olah raga itu sangat merosot. Saya katakan lagi, perlu ada revitalisasi dari sisi pembinaan karena cabang-cabang olah raga ini sekarang rata-rata tidak berbasis pada Iptek. Karena itu kita coba memasukkan agar basis utama setiap cabang olah raga dari Iptek dulu. Contoh kecil, di bidang olah raga saya yaitu tenis. Di tenis kita juga mesti paham mengenai bio mechanic.


Bisa dicontohkan diri Anda misalnya?

Misalnya, saya yang bertubuh kecil tapi bisa melakukan serv dan forehand keras. Dari mana saya bisa melakukan itu, bisa diteliti. Barangkali dari rotasi tubuh dan itu bisa dilakukan penelitian dari body rotation. Anak-anak sekarang berpikir, agar pukulan keras maka pukul dengan keras sehingga mengakibatkan tangan bisa cedera. Kalau dulu, bagaimana cara meminimalisasikan cedera ini, tapi sekarang kok malah lebih banyak cedera. Itu dianggap karena turnamennya lebih banyak. Padahal sebetulnya kerawanan cedera ini bisa kita sedikit redam. Itu memang bisa dari tubuh si anak, bisa juga dari over training, atau seorang pelatih yang tidak begitu memahami.


Dibanding dulu, sekarang banyak turnamen setiap minggu dan orang bisa melihat secara detail dan "close up". Orang awam saja bisa mendapatkan informasi itu. Apakah atlet sekarang tidak lebih cenderung ke Iptek dengan mengamati perkembangan tenis dunia?

Atlet kita kadang-kadang tahunya "pokoknya saya masuk lapangan dan latihan".


Mereka kurang memperhatikan yang di luar lapangan?

Iya, saya perhatikan ada beberapa atlet di luar waktu latihan malah tidur. Padahal waktu kosong itu mungkin bisa kita isi dengan aktivitas lain seperti kursus satu mata pelajaran atau bahasa atau belajar komputer. Sebetulnya sisi otak atlet ini juga perlu kita asah supaya mereka tetap aktif. Sekarang, atlet setelah capek latihan maka istirahat tidur saja dan tidak ada aktivitas lain. Padahal mereka juga dituntut untuk mengetahui perkembangan Iptek. Maaf, saya bukan menghakimi, tapi saya rasa ini yang perlu kita selamatkan dan perlu kita programkan untuk ke depan. Ini supaya atlet-atlet kita saat menghadapi lawan bukan hanya kondisi tubuhnya segar dan tidak hanya bermodal power saja, tapi juga bermodalkan skill dan isi kepalanya.


Kondisi Indonesia berubah-ubah seperti mengalami krisis moneter, susah, bahkan sekarang susah minyak segala. Sebetulnya, apakah ada pengaruh ekonomi terhadap prestasi atlet?

Saat ini sangat berpengaruh karena atlet sekarang beda dengan dulu. Kalau dulu, atlet kita benar-benar mau maju demi Indonesia, sedangkan atlet sekarang kalau tidak ada biaya maka tidak mau maju. Jadi terus terang saja, perbedaannya di situ.


Dalam kondisinya yang sudah berbeda, bagaimana menggabungkan motif pribadi dengan kebesaran negaranya, apakah prestasi atlet kita akan naik?

Terus terang saja dan ini bukan karena saya pesimis, tapi memang peluang atlet kita -- contohnya di Asian Games XV ini -- sangat berat. Salah satunya karena Cina menurunkan seluruh atlet juara dunia. (*)

No comments:

“ATHLETES FIRST, WINNING SECOND”