Google
 

11 June 2007

Smes Lebih Ilmiah

Majalah GAMMA Nomor: 22-2 - 25-07-2000


Peneliti ITB berhasil merancang raket untuk pemain bulutangkis secara ilmiah. Intinya, supaya pemain tak cepat lelah.

OLAHRAGA apa yang paling hebat di Indonesia? Jawabanya, pasti banyak yang menyebut bulutangkis. Itu tak salah. Paling tidak, ukurannya adalah banyaknya prestasi yang diukir cabang olahraga ini di arena internasional. Tapi, yang aneh, dari sisi ilmiah, olahraga populer di Tanah Air ini kurang digarap secara serius. Mantan pemain putri nasional, Ivana Lee, misalnya, terang-terangan mengakui kalau memang tidak ada kajian soal fisika matematis terhadap raket bulutangkis.

Inilah yang mengusik pikiran Dr. Ir. Bagus Budiwantoro. Peneliti pada Laboratorium Perancangan Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB) itu kemudian mempelajari desain raket yang pas, terutama untuk mengoptimalkan sweet spot area (SSA), daerah pada raket yang memberikan pantulan pukulan relatif sempurna dan vibrasi energi ke tangan sekecil mungkin. Ini supaya pemain tak cepat lelah. Kajian selama 1,5 tahun yang dibiayai Ditjen Pendidikan Tinggi itulah yang kemudian dibawa Bagus ke Industrial Mathematics Week -sebuah workshop yang diikuti para dosen, peneliti, dan kalangan industri untuk memecahkan problem industri lewat matematika- di Kampus ITB, pekan lalu. Menurut Bagus, saat ini hampir semua pemain bulutangkis nasional memakai raket impor. Alasannya, hingga kini tak ada pabrik raket lokal sebagus milik Yonex, Pro Kennex, Cartlon, atau merek dunia lainnya. Bahan raket impor memang bisa disebut canggih, seperti boron, komposit, titanium, dan campuran karbon. Hasilnya, raket menjadi ringan dan lentur. Bandingkan dengan raket produksi lokal yang masih menggunakan bahan aluminium dan besi baja. "Teknologi pembuatannya pun masih sangat sederhana," kata Bagus.

Anggapan bahwa raket impor selalu baik, menurut doktor bidang vibrasi dari Centrale Ecole Centrale de Lyon, Prancis, itu belum tentu seluruhnya benar. Bagus kemudian melakukan eksperimen. Hasilnya, raket yang baik sangat bergantung pada karakteristik dinamik raket bersangkutan. Misalnya, frekuensi pribadi, peredaman, dan mode shapes. Selain itu, Bagus juga mengkaji raket untuk pemain khusus. Pemain dengan tipe menyerang semacam Haryanto Arbi, misalnya, harus menggunakan raket penyerang pula. Lalu, apa yang dilakukan?

Caranya, Bagus menggeser sweet spot area (SSA). Rupanya, setiap raket memiliki SSA berbeda. Jika kok jatuh pada SSA, si pemain tak akan cepat lelah. "Karena energi dalam bentuk vibrasi yang sampai ke tangan setelah kok mengenai raket juga sangat kecil," jelas Bagus kepada Gamma. Sebaliknya, jika kok lebih banyak mengenai daerah di luar SSA, dalam waktu tak lama si pemain akan cepat capai. Daerah inilah yang disebut dead spot.

Teknik yang dilakukan Bagus adalah memindahkan SSA ke hitting area (daerah yang paling sering kena kok atau daerah pukulan favorit). Daerah ini berbeda-beda untuk setiap pemain. "Untuk mengetahuinya, bisa dilihat di daerah mana senar raket biasanya putus. Tapi, tak sesederhana itu karena perlu dilakukan uji laboratorium," kata Bagus.

Sebelum dilakukan pemindahan SSA, harus dikenal dulu titik SSA pada setiap pemain. Caranya dengan menjepit grip (pegangan) raket lewat jepitan khusus yang sama jika dijepit tangan pemain. Lalu, jatuhkan kok ke raket pada titik-titik yang berbeda. Getaran yang ditimbulkan pun dicatat. Energi inilah yang kemudian merambat ke tangan pemain. Yang paling rendah getarannya merupakan titik SSA.

Dari sini diketahui bahwa SSA sangat bergantung pada karakteristik dinamik raket. Seperti, massa dan geometri raket, bentuk penampang, bahan, serta tegangan senar. Metode pemindahan SSA yang dilakukan Bagus adalah dengan cara menambahkan sejumlah massa berupa karet ke kepala raket. Atau, dengan mengikatkan sejumlah nilon ke salah satu sisi atas kepala raket tadi. Sayang, Bagus amat pelit menjelaskan lebih lanjut soal perhitungan pemindahan ini. "Lagi dipatenkan," ujarnya sambil tersenyum.

Dalam penelitian ini, Bagus dibantu Edy Soewono dari Pusat Penelitian dan Penerapan Matematika (P4M) ITB. Kajian matematis, seperti berapa lama getaran kok sampai ke tangan pemain, kini sedang dihitung doktor matematika dari Ohio University itu. Penelitian lanjutan tersebut, kata Edy, sangat tidak mudah. Parameter dalam kajian ini sangat banyak dan rumit, termasuk area grip yang dipegang pemain sampai tingkat nervous yang dimiliki pemain. Kalau penelitian ini berhasil, harapan untuk mendongkrak prestasi para pebulutangkis kita bukan sekadar angan-angan. Paling tidak, hasil penelitian ini bisa memberikan kontribusi berarti. Semoga.


-Paulus Winarto

1 comment:

adjiedesigner said...

this is a great research. As a coach , I need more information about it. Can Mr. Bagus give me more (ha ha ha ). Thanks. God Bless for you and for Indonesian Badminton

“ATHLETES FIRST, WINNING SECOND”